Minggu, 07 Februari 2010

Estetika Lokal Pertunjukan Musik Gamat

Oleh : Hendrizal, S.Sn



1.Latar Belakang
Musik gamat merupakan salah satu jenis musik yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Minangkabau. Kesenian ini merupakan salah satu kesenian rumpun melayu yang berkembang dari hasil pembauran kelompok budaya yang berbeda atau yang disebut dengan Budaya Akulturasi.
Dalam buku Ensiklopedi Indonesia dikatakan bahwa ; Akulturasi (Ing.: aculturation). Istilah ini berasal dari etnologi dirumuskan sebagai perubahan kultural yang terjadi melalui pertemuan yang terus menerus dan intensif atau saling mempengaruhi antara dua kelompok kebudayaan yang berbeda.
menurut Koentjaraningrat, Akulturasi merupakan proses sosial yang timbul bila suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.
Penyesuaian diri budaya asing yang dikawinkan dengan unsur budaya lokal, akan terjadi pembauran budaya dan diterima oleh masyarakat pendukungnya sehingga menjadi musik tradisi budaya setempat. Realitas ini dapat dilihat pada pemakaian instrumen musik yang terdapat pada musik gamat, kehadiran biola, akordeon, gitar merupakan produk instrumen budaya asing yang berbaur dengan musik gamat. Pembauran lain dapat juga dilihat dari pemakaian tangga nada pada lagu gamat dengan menggunakan sistem tangga nada diatonic yang merupakan produk budaya barat.
Bentuk penyajian musik gamat menghadirkan vokal dengan berbahasa Minangkabau dan diiringi oleh biola, akordeon, gitar dan gendang bahkan akhir-akhir ini sering diiringi dengan menggunakan instrumen Saxophone. Lirik lagunya berisikan pantun-pantun bebas tentang nasib, pergaulan, keindahan alam yang dinyanyikan oleh penyanyi gamat , dan secara paraler melodinya diikuti oleh pemain biola dan akordeon.
Instrumen tersebut diatas pada dasarnya untuk mengiringi solo vokal atau sering disebut dengan iringan (accompaniment) yang berfungsi sebagai pendukung penyaji melodi pokok atau solis vokal.
Berdasarkan sudut pandang bunyi instrumen dapat dikelompokan pada dua kelompok, yaitu ritmis dan melodis. Instrumen ritmis mengahasilkan bunyi ritme , sedangkan instrumen melodis menghasilkan bunyi melodi. Instrumen ritmis dalam penyanjian musik gamat berupa gendang, sedangkan instrumen melodis dimainkan oleh alat musik biola, gitar , dan akordeon.
Bila ditinjau dari pantun yang dinyanyikan dalam pertunjukan gamat di minangkabau, merupakan lagu rakyat (folk song) yang tersebar melalui komunikasi lisan antara anggota masyarakat. Liriknya berupa pesan-pesan kehidupan yang dinamis dan menyesuaikan pada fenomena yang terjadi dilingkungannya.
Menurut James Harold Bruvand, nyanyian rakyat adalah salah satu gender atau bentuk folklore yang terdiri dari kata-kata dan lagu yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional serta mempunyai banyak variasi.
Penyampaian lirik pada lagu gamat sangat bervariasi antara penyanyi gamat, tingkat improvisasi pada penyampaian pantun merupakan keahlian tertentu pada seorang penyanyi dalam mengungkaplan perasaan, seperti halnya pendendang pada pertunjukan saluang dendang. Menurut Rizaldi penyanyi gamat mempunyai keahlian secara spontan dalam melantunkan pantun-pantun dan bagi seorang penyanyi gamat tidak akan mengulang pantun-pantun yang sudah dinyanyikan oleh orang lain.
Lagu-lagu gamat tradisi antara lain Sarunai Aceh, Sampaya Pabayan Lagu Duo, Talang Suligi, Mati Dibunuah, Sawah Lunto dan lain-lain.


II. Rumusan Masalah

Musik Gamat sebagai sebuah produk kebudayaan lokal, memiliki kekayaan estetika , etika dan logika yang dapat memberikan nilai – nilai pada sebuah pertunjukan.
Musik gamat sebagai musik akulturasi dengan menggunakan instrument barat mampu memberikan estetika tersendiri baik dalam bentuk sajian maupun dalam bentuk isi. Jenis irama yang biasa dimainkan dalam musik ini adalah langgam dan joget
Musik gamat sebagai salah satu bentuk seni rumpun melayu mempunyai kekhasan melodi yang ditandai dengan istilah garinyiak . Garinyiak pada biola melayu, adalah sebuah permainan nada hias, yang teknis permainannya hampir sama dengan ornament pada musik klasik seperti mordent, triller, grupetto, glissando dan portamento yang mempunyai teknik permainan yang cukup sulit, dan bagi setiap pemain akan memiliki interpretasi yang berbeda-beda. Dan secara ilmu musik nada hias sangat sulit untuk ditulis dalam bentuk tulisan musik yang baku. Kaedah-kaedah musik secara konvensional tidak dapat mendeteksi ornamen-ornamen yang ada pada permainan instrumen musik tersebut.
Pada lagu gamat dikenal juga dengan cengkok yang biasanya terdapat pada permainan teknik vocal. Cengkok sering menggunakan nilai nada dalam bentuk triol, kwintol, sektol dan septimol yang menjadikan ciri khas dari permainan lagu melayu.
Permainan Cengkok sangat menentukan bagi penyanyi tradisi gamat, kemampuan improvisasi terhadap sebuah lagu merupakan keahlian tersendiri yang tidak dapat nyanyikan oleh penyanyi yang bukan penyanyi gamat.
Musik gamat mempunyai konvensi tersendiri secara permanen dan memiliki struktur musikal baku dalam sebuah pertunjukan. Menurut Rizaldi dalam Tesis S2 mengatakan bahwa Struktur yang paling penting pada gamat adalah 1) Melodi lagu dan teksnya; 2)senter lagu ( melodi introduksi); 3) melodi penghantar (pintu lagu) untuk masuk vocal; dan 4) melodi penutup lagu; serta 5) motif gendang pengiring.
Konvensi tersebut diatas adalah merupakan ciri khas dari permainan musik gamat dan dapat dikatakan bahwa pelanggaran terhadap konvensi tersebut akan merusak pada pertunjukan musik gamat.
Unsur estetika lain yang menarik dalam pertunjukan musik gamat adalah nilai-nilai yang terkandung dalam pantun lagu-lagu gamat. Menurut Rizaldi lagu-lagu gamat yang berkembang di Sumatera Barat pada umumnya berirama Langgam (tempo lambat), sedangkan untuk lagu-lagu berirama cepat kurang berkembang, bahkan lagu-lagu yang berirama joget cendrung mengadopsi serta mengalih bahasakan dari lagu-lagu melayu Deli dan semenanjung. Yang menjadi pusat perhatian pada kandungan sastranya adalah pantun-pantun yang terkandung pada lagu langgam cendrung bertemakan parasaian (penderitaan). Fenomena ini merupakan hal yang cukup menarik untuk menguak nilai-nilai logika, estetika, dan etika.
Beberapa permasalahan diatas mengandung nilai-nilai estetika yang dapat dilihat dari aspek Instrinsik dan Ekstrinsik.

III. Analisis Instrinsik dan Ekstrinsik

Instrumen yang digunakan pada musik gamat adalah biola, gitar akustik, doble Bass, akordeon, gandang katindik serta vokal. Sebagian besar dari instrument yang digunakan pada musik gamat adalah instrumentasi musik barat, namun konvensi yang dipakai tidaklah mutlak dari konvensi musik klasik.
Beberapa teknik permainan dalam biola gamat seperti triller (garinyiak) pada konvensi barat teknik memainkannya adalah dengan menggerakkan nada seconde atas, namun pada musik gamat pergerakan triller (garinyiak) pada seconde bawah. Teknik Ornamentasi ini tidak ditemukan dalam tulisan musik barat.


Contoh :
Triller dalam biola klasik



Garinyiak dalam biola gamat


contoh garinyiak diatas berupa serangkaian melodi yang memainkan dua buah nada saja (f dan e) secara berulang-ulang dengan nilai not 1/32-an. Jika dibandingkan dengan notasi biola klasik, melodinya kelihatan seperti triller, tetapi sebenarnya bukan triller, karena pengulangan nada yang dimainkan berupa sekond turun, yaitu dari nada f ke nada e, sedangkan melodi triller yang dimainkan dalam musik Barat pengulangan nadanya sekond atas, yaitu dari e ke f. Oleh karena itu, simbol penulisan garinyiak melodi seperti diatas tidak dapat diganti dengan simbol penulisan triller pada musik Barat, kecuali bila diberi kode tersendiri.
Hal lain yang menarik dalam permainan biola gamat adalah teknik Vibrasi (getar Nada). Pada teknik Vibrasi biola klasik dengan mengerakkan jari pada satu not, namun pada biola gamat teknik Vibrasi menggunakan gerakkan jari pada dua not seconde kecil yang bergerak ke atas. Hal tersebut diatas memberikan warna tersendiri dan sekaligus membedakan nuansa musik gamat sebagai musik tradisi Minangkabau.
Ornamen ( garinyiak) lain yang terdapat pada lagu gamat adalah mordent (melodi yang melangkah jarak seconde), appoggiatura dan appoggiatura ganda. Nada hias ini biasanya terdapat dalam lagu. Penggunaan Ornamentasi ini sangat bervariasi sesuai dengan keinginan pemain biola, akordeon dan vokal.
Contoh Ornament (garinyiak) :


Bentuk ornament lain dalam lagu gamat adalah cengkok. Melodi ini dominan dinyanyikan oleh vokal. Bentuk cengkok tersebut menggunakan nada Triol (tiga nada), kwintol (lima nada), sektol (enam nada), septimol (tujuh nada).
Contoh Cengkok dalam lagu Sampaya Pabayan :

Bagi pemain biola, agar melodi cengkok tersebut kedengarannya lebih indah, biasanya dimainkan dengan teknik gesekan legato, yaitu semua rangkaian melodi itu dimainkan dengan satu gesekan atau dengan teknik staccato (gesekan putus-putus) dan bisa juga digabungkan keduanya. Akan tetapi bagi seorang penyanyi, biasanya melodi cengkok tersebut dinyanyikan untuk satu suku kata yang dibawakan dalam bentuk melismatis, yaitu menyanyikan satu suku kata dengan banyak nada dalam satu nafas.
Bagian Estetika lain yang mengandung unsur-unsur Instrinsik pada musik gamat adalah struktur musik, dalam etika tersendiri musik ini memiliki aturan baku yang sering dilakukan dalam permainan musik gamat yaitu senter lagu ( melodi introduksi), melodi penghantar (pintu lagu),lagu dan melodi penutup lagu.
Senter lagu atau Introduksi lagu dimainkan sebelum masuk pada melodi pokok yang dibawakan oleh vokal, alur melodi pada bagian ini biasanya diambil dari melodi pokok dan dimainkan oleh instrument melodis seperti Biola dan Akordeon. Bagian ini biasanya dimainkan sekitar 4 (empat) sampai 5 (lima) Birama.
Pada bagian intro ini pemain biola dan akordeon menunjukkan keterampilan individual dalam mengolah garinyiak dan cengkok/gayo, dan mengantar imajinasi vokalis untuk menyanyikan lagu dengan penjiwaan serta improvisasi sendiri
Menurut William A. Haviland tentang fungsi music mengatakan bahwa seni musik adalah keterampilan kreati individu yang dapat dipupuk dan dapat merupakan kebanggaan seseorang, karena rasa telah berhasil menciptakan sesuatu atau melulu karena kepuasan telah memainkannya. Semua itu adalah bentuk perilaku sosial, yang merupakan suatu komunikasi dan suatu pemerataan perasaan dan pengalaman hidup pada orang lain.
Kemampuan pemain biola dan akordeon dalam mengungkapkan perasaan melalui instrumen serta daya imajinasi vokal dalam mengungkapkan perasaan dengan permainan garinyiak, cengkok, serta pantun-pantun baru merupakan sebuah kebanggaan tersendiri bagi pemain musik gamat. Bakat yang dimiliki oleh seorang seniman menentukan kemampuannya untuk membuat kejutan tanpa merusak keutuhan lagu itu sendiri, sehingga memberikan daya tarik atau kekuatan (intensitas) musik gamat yang membuat penonton terpaku.
Melodi pengantar (pintu lagu) dimainkan menjelang vokal menyanyikan lagu, melodi ini dimainkan sekitar 2(dua) birama. Menurut etika, tanpa adanya pintu lagu penyanyi tidak dapat masuk pada lagu. Dengan demikian seorang pemain gamat terutama pada pemain biola dan akordeon harus menguasai seluruh pintu lagu yang terdapat pada lagu-lagu gamat, karena setiap lagu gamat memiliki pintu lagu yang berbeda-beda.
Melodi penutup lagu adalah melodi pendek yang terdiri dari 2 (dua) birama dan terletak pada akhir kalimat lagu. Melodi penutup pada umumnya dalam lagu-lagu gamat adalah sama.
Berikut ini contoh lagu gamat dengan keterangan struktur lagu :

Dalam Pertunjukan musik gamat terdapat ketentuan repertoire lagu yang harus dimainkan, lagu pembuka dalam pertunjukannya adalah Lagu Duo kemudian dilanjutkan dengan lagu Sampaya Pabayan, ketentuan ini sudah menjadi kesepakatan secara tradisi bagi para kelompok musik gamat yang ada di Sumatera Barat. Sehingga apabila susunan tersebut tidak menurut semestinya maka pertunjukan tersebut memiliki kekurangan. Untuk repertoire lainnya diserahkan sepenuhnya pada pemain. Konvensi ini sama dengan pertunjukan Saluang Dendang yang mewajibkan pada setiap permulaan membawakan lagu Singgalang .
Nilai-nilai ekstrinsik lainnya yang terdapat dalam pertunjukan ini adalah dengan hadirnya beberapa pasang penari dengan memakai properti selendang. Secara visual penari berada didepan pemain gamat dengan posisi berhadapan. Nilai estetika yang dapat dilihat dari peristiwa ini adalah nilai-nilai sosial, kekerabatan. Mereka saling berkomunikasi, berputar sambil memegang ujung selendang.
Pada pertunjukan gamat para penari, juga dapat menyanyikan lagu secara bergiliran, sehingga dalam satu lagu dapat menghabiskan waktu yang cukup panjang, karna pengulangan melodi dengan pantun dan penyanyi yang berbeda.
Mengamati lirik yang terdapat dalam lagu-lagu gamat sarat dengan nilai-nilai “keindahan yang membumi”. Istilah ini dikemukakan oleh Agus Sachari dalam buku Estetika mengatakan Kedayaan nilai-nilai estetik tidak hanya dapat diamati sebagai upaya manusia untuk membangun citra ataupun kontemplasi terhadap kosmos, tetapi juga dapat dipahami sebagai upaya manusia untuk membumi. Kepedulian terhadap kenyataan yang terjadi disekitar ataupun kepedulian kepada rakyat kecil, merupakan ujud lain kedayaan nilai estetik untuk memahami dunia.
Musik gamat sebagai sebuah kesenian rakyat merupakan musik yang tumbuh dan berkembang dikalangan rakyat kecil atau masyarakat kelas bawah. Ungkapan pantun lebih cendrung pada penderitaan (parasaian) hidup yang mereka alami yang dinyanyikan dalam tempo lambat (langgam). Pantun-pantunnya berisikan kiasan-kiasan . yang pada umumnya meratapi nasib.
Untuk lebih jelasnya, dibawah ini terdapat beberapa contoh lagu gamat :
Sampaya Pabayan
Tempo : Langgam Lagu Gamat
Badantuang bunyi si ombak Puruih Aduhai badantuang bunyi
Si ombak Puruih aduhai pasang kok suruik
Pasang kok suruik pasianyo landai
Pasang kok suruik , pasang kok suruik pasianyo landai

Rusaklah tulang dagiang lah luruik, aduhai rusaklah tulang
Dagianglah luruik aduhai baitu bana
Baitu bana tibo di denai
Baitu bana, baitu bana tibo di denai

Sarunai Aceh
Tempo: Langgam Lagu Gamat
Pupuik sarunai manyarunai, ondeh sanak oi 2x
Diambuihlah anak urang gubalo, sarunailah Aceh 2x
Mujualah baa dagang sansei, ondeh sarunai 2x
Untuang kok isuak ado gunonyo, ondeh kanduang oi 2x

Sajak bamasin di Muko-muko, ondeh sanak ei 2x
Danau kok kariang ikan manangih, sarunailah aceh 2x
Disadang bansaik pasan kok tibo, ondeh sanak ei 2x
Dibaco surek sadang manangih, ondeh kanduang ei 2x

Kaparinyo Pulau Batu
Tempo : Joget Lagu Gamat

Bakukuak Ayam di tangah lading 2x
Alang babega mancari makan 2x
Baganti seso malam jo siang 2x
Jo sia nasib kadikadukan 2x

Diukia buluah buek kasaluang 2x
Pamenan anak si urang Minang 2x
Nyampangnyo sakik baganti sanang 2x
Bak cando kabuki baganti tarang 2x

Dari beberapa contoh lagu gamat diatas, baik dalam tempo langgam maupun joget, karakter pantunnya tetap merupakan pantun nasib. Setelah diamati lagu-lagu gamat sangat sedikit yang bertemakan tentang pantun muda-mudi (percintaan).
Fenomena diri yang dijadikan objek penciptaan lagu-lagu tersebut mempunyai nilai-nilai estetis yang diistilahkan dengan “Keindahan yang Membumi”, yang bersumber dari realitas kehidupan sehari-hari yang biasanya terdapat pada masyarakat.
Dari keberadaan lagu-lagu gamat yang ada serta tema dari pantun yang dinyanyikan maka tepatlah lagu-lagu gamat dinyanyikan dalam tempo lambat (langgam) karena sesuai dengan tema sedih . Sehingga musik gamat di Sumatera Barat banyak memiliki repertoire langgam. Untuk lagu-lagu berirama Joget , sering mengadopsi lagu-lagu melayu semenanjung dan melayu Deli yang diobah kedalam bahasa Minangkabau.







KEPUSTAKAAN


A.Haviland William. 1985, Antropologi Edisi Keempat, terjemahan R.G Soekadijo Erlangga ,Jakarta.

Danandjaja, James . 1991. Folklore Indonesia, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta .

Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi,edisi baru, Rineka,

Rizaldi, “Musik Gamat di Kotamadya Padang: Sebuah Bentuk Akulturasi Antara Budaya Pribumi dan Budaya Barat “, (Tesis S2 UGM, 1994)

Rizaldi. 2005. Biola Gaya Melayu,PHK A1, Padangpanjang.

Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya, ITB Bandung.

Shadily, Hasan. 1980 Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru Van Houve, Jakarta.